You are currently viewing Tanda Pengagungan kepada Allah.
View of the Mosque Sultan Hassan in Cairo

Tanda Pengagungan kepada Allah.

Bismillahirrahmaanirrahiim..

Alhamdulillah atas nikmat Islam dan hidayah yang Allah berikan kepada kita sampai hari ini. Tiada yang bisa kita lakukan selain berusaha memuji Allah dan mewujudkan syukur dalam hati dan perbuatan kita.

Saudaraku yang dirahmati Allah, seorang hamba selalu membutuhkan Rabbnya di sepanjang waktu dan jejak langkah kehidupannya. Karena kita sebagai manusia terlalu banyak memiliki kekurangan dan kelemahan; dan siapa lah kita apabila berada di hadapan-Nya?!

Para ulama terdahulu adalah orang-orang yang sangat besar perhatiannya terhadap muamalahnya dengan Allah. Bagaimana mereka bisa tampil sebaik-baiknya di hadapan Allah. Bagaimana mereka bisa mendapatkan kecintaan Allah dan keridaan-Nya. Mereka dipuji oleh Allah di dalam al-Qur’an sebagai orang-orang yang takut kepada-Nya.

Para ulama mengenal Allah, sehingga mereka pun takut kepada-Nya dengan penuh pengagungan dan kepatuhan. Seperti yang dikatakan, barangsiapa semakin mengenal Allah, niscaya dia akan semakin merasa takut kepada-Nya. Akan tetapi, rasa takut mereka adalah rasa takut yang berlandaskan ilmu dan dihiasi dengan harapan. Rasa takut yang bergerak dalam roda kecintaan. Rasa takut kepada Allah yang membuahkan amal dan ketaatan.

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ’anhu mengingatkan kita, “Ilmu bukanlah dengan banyaknya riwayat. Akan tetapi, ilmu adalah rasa takut.”

Ilmu yang tertanam di dalam hati. Ilmu tentang Allah telah membawa generasi terdahulu umat ini pada derajat-derajat yang tinggi. Mereka mengenal Allah, maka mereka pun menegakkan keadilan. Mereka takut kepada Allah, maka mereka pun menjauhi kezaliman. Mereka mengenal Allah, maka mereka pun selalu memanjatkan doa dan permohonan, terus bergantung kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya.

Di antara cara paling efektif untuk menumbuhkan pengagungan kepada Allah adalah dengan mempelajari dan mengamalkan konsekuensi dari nama-nama dan sifat-sifat Allah terhadap hamba-Nya. Sebagaimana disebutkan oleh Kamilah al-Kiwari -semoga Allah merahmatinya- bahwa ilmu tentang nama Allah dan sifat-sifat-Nya, pemahaman terhadap makna, pengamalan terhadap tuntutan (konsekuensinya), serta berdoa kepada Allah dengan nama-nama itu (asma’ul husna) akan membuahkan pengagungan kepada Allah di dalam hati. Akan muncul juga penyucian dan kecintaan kepada-Nya, harap dan takut kepada-Nya, tawakal, dan inabah kepada-Nya. Dengan cara inilah seorang bisa merealisasikan tauhid di dalam sanubari dan terwujudlah ketenangan jiwa tunduk kepada keagungan Allah jalla wa ‘ala (lihat al-Mujalla, hlm. 22-23).

Oleh sebab itu, ilmu tentang pokok-pokok agama disebut oleh para ulama sebagai ilmu yang paling mulia. Karena kemuliaan suatu ilmu ditentukan oleh kemuliaan sesuatu yang diilmui; yaitu apa yang dipelajari. Dan tidak ada yang lebih mulia daripada Allah. Oleh sebab itu, ilmu tentang akidah disebut sebagai fiqih akbar. Kebutuhan para hamba terhadap ilmu ini jauh di atas semua kebutuhan. Keterdesakan dirinya terhadap ilmu ini melebihi semua perkara mendesak. Karena tiada kehidupan bagi hati dan tidak ada ketenangan baginya kecuali dengan mengenal Rabbnya; mengenal Pencipta dan sesembahannya, melalui nama-nama dan sifat serta perbuatan-Nya. Bersamaan dengan itu, dia pun menjadikan Allah sebagai Dzat yang paling dicintai olehnya daripada segala sesuatu (lihat Syarh Aqidah Thahawiyah tahqiq al-Albani, hlm. 69).

Seorang hamba yang menyadari bahwa semua keutamaan adalah di tangan Allah tentu merasa butuh dan berhajat kepada pertolongan dan ampunan-Nya. Seorang hamba yang meyakini bahwa tidak ada satu pun makhluk di dunia ini melainkan berada di bawah kekuasaan-Nya, maka dia akan bersimpuh dan pasrah kepada aturan dan hukum-hukum-Nya. Seorang hamba yang menyadari bahwa Allah menciptakan kematian dan kehidupan sebagai ujian bagi manusia; tentu akan berusaha sekuat tenaga membuat rida Rabbnya dan menjauhi murka-Nya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pasti akan merasakan lezatnya iman; orang yang rida Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul” (HR. Muslim).

Lezatnya keimanan -sebagaimana diterangkan oleh para ulama- adalah kenikmatan dalam menjalankan ketaatan. Lezatnya ibadah itulah yang membuat para salafus shalih mendapatkan pujian dari atas langit sementara jasad mereka masih di atas tanah. Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Mereka menyadari bahwa semua yang mereka lakukan selalu diawasi oleh Allah. Pengagungan kepada Allah telah mematahkan ambisi hina dan membasmi penyakit hati dalam diri mereka yang mendahulukan wahyu di atas akalnya dan mengangkat akal sehat di atas hawa nafsunya. Mereka lah orang-orang cerdas!

Ketundukan seorang hamba kepada Allah dibuktikan dengan ketundukan dirinya terhadap perintah dan larangan Allah. Pengagungan seorang mukmin terhadap perintah dan larangan Allah merupakan tanda pengagungan dirinya kepada pemberi perintah dan larangan. Sebuah ketundukan yang harus dilandasi dengan keikhlasan dan kejujuran. Ketundukan yang dibangun di atas akidah yang lurus dan bersih dari kemunafikan akbar. Karena bisa jadi seseorang melakukan perintah karena dilihat orang lain. Atau karena mencari kedudukan di mata mereka. Atau dia menjauhi larangan karena takut kedudukannya jatuh dalam pandangan mereka. Maka orang yang semacam ini, ketundukannya kepada perintah dan larangan bukan berasal dari pengagungan kepada Allah, Dzat Yang memberikan perintah dan larangan itu (lihat al-Wabil ash-Shayyib, hlm. 15-16).

Di antara sifat Allah yang menjadi rambu-rambu bagi seorang muslim adalah kebersamaan-Nya dengan segenap hamba. Yaitu kebersamaan ilmu dan kekuasaan-Nya. Sebagaimana Allah bersama hamba-Nya yang beriman dengan pertolongan dan dukungan-Nya. Allah berfirman,

وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنتُمْ ۚ

“Dan Dia bersama kalian dimana pun kalian berada” (QS. al-Hadid: 4).

Sebagaimana ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Bakar ketika mereka berdua berada di dalam gua dan di bawah kejaran orang-orang kafir Quraisy,

لَا تَحْزَنْ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَنَا

“Janganlah sedih. Sesungguhnya Allah bersama kita” (QS. at-Taubah: 40).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seutama-utama iman adalah kamu mengetahui bahwa Allah bersamamu di mana pun kamu berada.” (HR. Thabarani dalam al-Kabir).

Keyakinan semacam ini akan menumbuhkan perasaan muraqabah atau selalu merasa diawasi oleh Allah. Dan apabila perasaan ini menumbuhkan ketaatan, maka hal itu akan membuahkan kebersamaan Allah yang lebih khusus (ma’iyah khaashshah) yaitu berupa pertolongan dan dukungan. Sebagaimana firman-Nya,

إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلَّذِينَ ٱتَّقَوا۟ وَّٱلَّذِينَ هُم مُّحْسِنُونَ

“Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa dan mereka yang suka berbuat ihsan/kebaikan” (QS. an-Nahl: 128) (lihat Fathu Rabbil Bariyah, hlm. 49).

Demikian sedikit kumpulan faidah, semoga bermanfaat bagi kita semua. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallamWalhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si

Sumber Artikel : www.muslim.or.id

Leave a Reply